maka beginilah aku
melewati malam-malam di rumahmu
mengamini jejak-jejak waktu
di malam yang pertama
angin mengabariku
tentang cinta dan ikhwal setia
“jika dalam mimpimu
malam ini kau menemukanku
dengan rambut terurai panjang
maka sungguh,
itu karena aku
ingin kau selalu ada di diriku”
ada yang tersembunyi
pada kelopak matamu
yang belum sempurna rekah
serupa gigir bintang-bintang
di langit biru
kudengar
nyanyian anak sungai
mengalir setia
di muara dadamu
tapi tak ada ikan-ikan
atau pohon-pohon berbuah di pinggirnya
di malam yang kedua,
kuseret tubuhku ke halaman
angin telah lama tertidur
bulan tersungkur di pohon mangga
selembar daun kering gugur
seolah bersabda
“cinta serupa cahaya
menusuki celah gulita
sedang setia adalah gulita
yang mengabdikan dirinya
pada cahaya”
di malam yang ketiga,
aku berlari ke anak sungai
membawa sajadah panjang
tempat jasadku tersungkur
menumpahkan air mata
kulayarkan ia
ke laut lepas
jika tiba waktu merindu
ia akan menjelma sebuah perahu
tempat kau dan aku
tidur dan bercumbu
sebelum anak-anak musim
berlari jauh
menafsiri selendang jingga
di cakrawala
Yogyakarta, Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar